top of page

Menilik Aksi Intoleransi dari Sudut Pandang Katolik

Rafaella Shiene Wijaya dan Maria Nathania Lomento

26 April 2021



Tantangan umat beragama untuk menjadi satu di tengah kebhinekaan yang ada telah dihadapi bangsa ini bahkan sebelum merdeka. Hal ini sangat mungkin terjadi sebagai produk segmentasi kolonialisme yang menciptakan masyarakat yang terbagi-bagi dalam susunan hierarkis yang tidak menempatkan semua orang pada level yang sama. Namun, apakah hal ini masih relevan pada kehidupan modern pasca 76 tahun Indonesia merdeka?


Katanya, beberapa pihak mengklaim bahwa Indonesia jadi tolak ukur dunia untuk keharmonisan dan toleransi antar umat beragama yang beragam. Namun, maraknya aksi intoleransi di tengah masyarakat mengatakan sebaliknya. Lalu apa sih sebenarnya intoleransi yang digadang-gadang sebagai pemecah persatuan? Yuk mari menilik definisi intoleransi yang akan banyak dibahas pada artikel ini!


Menurut KBBI, intoleransi berarti ketiadaan tenggang rasa, yaitu tidak adanya keharmonisan dalam perbedaan. Sebaliknya, toleransi didefinisikan oleh Sullivan et al. sebagai kesediaan untuk menghargai, menerima, atau menghormati segala sesuatu yang ditolak atau ditentang oleh seseorang. Dalam Gereja Katolik sendiri, kita diajarkan bahwa tidak ada seorangpun yang harus dipaksakan untuk meyakini iman Katolik di luar keinginannya sendiri.


Toleransi atas perbedaan tidak tercipta dari apatisme dengan menolak tahu menahu mengenai adanya perbedaan tersebut, melainkan 100% tahu bahwa perbedaan itu ada dan meyakini bahwa rasa kemanusiaan yang sama berada di atas segala perbedaan tersebut. Dengan adanya perbedaan ini, umat manusia seringkali ditabrakkan antara ideologi satu dengan ideologi lainnya; menciptakan ilusi seolah-olah kita makhluk berderajat spesial yang sangat berbeda dengan orang yang berbeda pandangannya dengan kita. Dengan begitu, dapat timbul intoleransi dalam diri manusia yang tidak menghargai perbedaan yang diciptakan Tuhan sehingga ia dapat memandang getir lawan yang tidak sepemikiran dengannya, atau bahkan dapat menumbuhkan bibit radikalisme yang merupakan intoleransi dalam bentuk ekstrem.


Tentu tidak banyak orang yang mau menulis atau membaca artikel dengan tema yang sensitif seperti ini. Banyak orang memilih untuk dapat hidup sewajarnya saja, mencoba hidup berdampingan tanpa mengusik dan terusik, serta mengabaikan perbedaan tanpa menghargainya juga dalam hatinya. Represi intelektual seperti ini secara gradual dapat menimbulkan gelombang intoleransi hingga sampai pada tahap krisis toleransi sebagaimana disebutkan oleh Human Rights Watch. Kita sebagai anak muda harus mulai membuka mata terhadap keberagaman yang ada di sekitar kita dan mulai belajar menghargai orang-orang yang tidak sepaham dengan kita. Dengan begitu, kita juga menjadi tidak mudah terpicu melakukan ‘finger-pointing’ terhadap orang-orang dari kaum tertentu ataupun kaum kita sendiri ketika aksi intoleransi terjadi.


Kita perlu memahami bahwa intoleransi dan ekstremisme tidak merepresentasikan kaum tertentu. Baik umat Katolik maupun non-Katolik sama-sama dapat menjadi pelaku intoleransi apabila dalam dirinya belum dapat memahami arti kasih antar sesama manusia. Menilik dari sudut pandang Katolik, beberapa dokumen Gereja berbasis kemanusiaan mengajarkan bahwa agama merupakan kebaikan manusia untuk dipromosikan, bukan kejahatan untuk ditoleransi (Dignitatis Humanae). Nostra Aetate mengemukakan pernyataan tentang hubungan Gereja dengan agama-agama non-Kristiani, dengan poin-poin sebagai berikut:


Sebab semua bangsa merupakan satu masyarakat, mempunyai satu asal, sebab Allah menghendaki segenap umat manusia mendiami seluruh muka bumi (Kis 17: 26)

Semua juga mempunyai satu tujuan terakhir, yakni Allah, yang penyelenggaraan-Nya, bukti-bukti kebaikan-Nya dan rencana penyelamatan-Nya meliputi semua orang (Keb 8:1: Kis 14:17; Rom 2:6-7; 1Tim 2:4)


Keberagaman agama harus diilhami bahwa dengan pelbagai cara, tiap agama berusaha menanggapi kegelisahan hati manusia, dengan menunjukkan berbagai jalan yakni ajaran-ajaran serta kaidah-kaidah hidup maupun upacara-upacara suci.


Gal 3:7 - Jadi kamu lihat, bahwa mereka yang hidup dari iman, mereka itulah anak-anak Abraham. Karena itu, ketahuilah bahwa orang-orang yang berimanlah yang disebut anak-anak Abraham. Sebab itu hendaklah kamu mengetahui, bahwa segala orang yang beriman itulah anak-anak Ibrahim.


Dalam ajaran Gereja Katolik, kita diajarkan untuk tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci; merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah, ajaran-ajaran, yang berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang memantulkan sinar Kebenaran. Kita juga diajarkan untuk tiada hentinya mewartakan Kristus melalui perilaku dan hidup kita serta kita juga selalu didorong untuk dapat terus berlaku bijaksana dan penuh kasih. Gereja juga mendorong kita untuk berdialog dan bekerjasama dengan para penganut agama-agama lain, sambil memberi kesaksian tentang iman serta perihidup kristiani, mengakui, memelihara dan mengembangkan harta kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosio-budaya, yang terdapat pada mereka. Paus Fransiskus dalam kunjungannya ke Irak memberikan pesan yang jelas kepada dunia bahwa harmoni dan kohesi antara pengikut semua agama adalah satu-satunya cara untuk kemajuan dan perkembangan umat manusia, serta cara paling efektif untuk mengatasi tantangan yang semakin meningkat yang dihadapi dunia.


Sebagai bagian dari anak muda yang akan menjadi penerus bangsa, kita juga harus tahu bagaimana cara berlaku dan memandang intoleransi dari sudut pandang Kristiani. Alkitab menyebutkan dalam Efesus 4:1-3 mengenai kesatuan jemaat dan karunia yang berbeda-beda. Kita diajar untuk dapat selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar bahkan ketika kita diperlakukan tidak baik karena Tuhan. Surat Paulus pada Korintus 4:12 juga menyebutkan hal senada, yakni agar kita tetap memberkati ketika dimaki dan tetap sabar ketika dianiaya. Sebagai umat Katolik, kita diajak untuk dapat melihat perbedaan sebagai suatu karunia dari Tuhan serta bukannya menjauhi orang yang berbeda dengan kita, melainkan berdialog dan saling memahami satu sama lain. Kita diajak untuk dapat menghargai apa yang menjadi cara hidup orang yang berbeda dengan kita, namun tidak serta merta harus mengikuti dan melakukan ajaran-ajaran yang bertentangan dengan iman Katolik kita sebagaimana disampaikan dalam Wahyu 2:20. Selain itu, kita juga diminta untuk tidak berdiam diri terhadap aksi intoleransi di sekitar kita, melainkan mengucap berkat dan terus memancarkan kasih Kristus dalam diri kita dengan perilaku kasih kepada sesama.


Referensi dan bacaan lebih lanjut:





Comments


Single post: Blog Single Post Widget
bottom of page