top of page

Belajar Dari Garam Untuk Menjadi Garam Dunia


"Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang."

(Matius 5:13)


Perikop tersebut tentu sudah tidak asing bagi kita semua sebagai umat katolik. Namun, mungkin saja kita tidak memiliki ketertarikan untuk mendalami makna “garam dunia” ini. Padahal, sebagai pengikut Kristus, kita dituntut untuk meneladani-Nya dalam menyebarkan kebaikan ke dunia, dalam hal ini ke masyarakat kita. Terlebih lagi, umat Katolik bukanlah umat mayoritas di masyarakat Indonesia. Peran sebagai “garam dunia” perlu kita hayati lebih dalam lagi karena kita juga merupakan mahasiswa, yang diharapkan bisa menjadi harapan bagi masyarakat untuk berkembang menuju arah yang lebih baik. Namun, sebelum kita siap menjadi “garam dunia”, kita terlebih dahulu bisa mencoba untuk memahami filosofi-filosofi yang terkandung dalam butiran garam tersebut.

Salah satu fungsi garam sejak zaman dahulu hingga sekarang adalah untuk mengawetkan makanan, misalnya dendeng dan ikan asin, agar tidak busuk. Bahkan, tidak jarang juga rasa makanan yang diawetkan oleh garam menjadi lebih nikmat. Selain itu, garam juga memiliki fungsi untuk menyucikan dan menyehatkan, yang juga dikisahkan pada kisah nabi Elisa yang menyehatkan air dengan garam di Yerikho. Analogi ini juga dapat dipakai untuk menggambarkan masyarakat kita. Jika kita adalah garamnya, maka makanannya adalah masyarakat ini. Dunia ini digambarkan sebagai tempatnya hal-hal yang jahat. Tentu di masyarakat kita sudah sering mendengar kejahatan-kejahatan seperti korupsi, diskriminasi, pelecehan, dan sebagainya. Sebagai pengikut Kristus, kita juga diharapkan dapat menjaga lingkungan kita dari kuasa-kuasa kejahatan semacam itu dan mengisi lingkungan kita dengan kebaikan-kebaikan agar melalui kehadiran kita, kuasa Tuhan benar-benar dinyatakan dalam lingkungan kita.

Fungsi kedua dari garam, yang tentu saja kita semua sudah kenal, adalah sebagai bumbu bagi makanan. Kita semua juga pasti sudah tahu bahwa rasanya garam sudah menjadi bumbu universal bagi makanan-makanan di seluruh dunia. Oleh karena itu, selain melindungi lingkungan kita dari kejahatan-kejahatan, kita juga dituntut untuk menyebarkan kebaikan di lingkungan kita. Garam ini sangat cocok untuk menggambarkan kita semua sebagai pengikut Kristus karena jumlah kita di masyarakat bukanlah jumlah mayoritas. Namun, garam juga tidak perlu ada dalam jumlah banyak untuk memberikan rasa sedap pada makanan. Seperti halnya garam, jumlah umat Kristiani juga tidak perlu banyak untuk dapat menebar kebaikan dan menjadi berkat bagi sesama. Ketika kita gagal menjalankan fungsi kita sebagai garam, kita tidak ubahnya garam yang tawar, yaitu tidak berguna, yang akan diremehkan oleh lingkungan kita dan dianggap tidak berguna.

Tujuan kita untuk mempelajari filosofi garam ini bukanlah untuk menjadi garam, karena sejatinya kita semua sudah merupakan garam ketika menjadi murid Yesus. Buktinya, Yesus mengatakan “kamu adalah garam dunia”, bukannya “kamu akan menjadi garam dunia” atau “kamu harus menjadi garam dunia”. Dengan status kita sebagai mahasiswa kedokteran, yang seharusnya menjadi garam bagi dunia kesehatan Indonesia, sudah sepatutnya kita menghayati peran kita sebagai garam dunia ini. Saat-saat mengenyam pendidikan ini harus kita manfaatkan sebaik-baiknya untuk belajar menebar kebaikan dengan mulai peduli pada sesama dan turut berkontribusi bagi kemaslahatan sesama, mulai dari teman dekat, angkatan, seluruh mahasiswa, sebelum akhirnya nanti kita semua dituntut untuk benar-benar mengabdikan hidup kita pada masyarakat. Sekarang, pilihan ada di tangan kita sebagai murid Yesus, apakah kita ingin diam saja dan menjadi tidak berguna atau mulai menebar kebaikan dan pada akhirnya “menyedapkan” dan “menyehatkan” dunia ini.

Single post: Blog Single Post Widget
bottom of page